7.04 (FeistyFawn) adalah Ubuntu yang merubah pandanganku tentang linux. Aku berkenalan dengannya lewat temanku Eko Febrianto yang membawakan Live-CD Ubuntu 7.04. Untuk menginstall Windows di Laptop-ku aku kalang kabut mencari Driver-nya, tapi tidak dengan Ubuntu 7.04, driver-nya terdeteksi dengan sempurna 🙂 Ditambah dengan Wine yang menjadi nilai tambah buatku. Compiz (Efek untuk desktop) berjalan sempurna, cukup untuk pamer dan membuat temanku melongo saat window dari aplikasi bisa diperlakukan seperti secarik serbet lentur 🙂 Distro ini (7.04) menurutku lebih stabil dibanding dibanding distro Linux lainnya, dan yang terpenting… tidak membuat pemula jadi “kapok”. Kemudian muncul Ubuntu 7.10 (GutsyGibbon) Distro yang membuatku semakin tergila-gila dengan Ubuntu, apalagi Compiz Fusion (gabungan Compiz dan Beryl) yang sangat “mewah” padahal RAM pada saat itu hanya 512 MB share (digunakan untuk VGA/AGP, SOUND, dan System) tetapi Laptopku jarang sekali mengalami Hang pada saat digunakan, kecuali pada saat memainkan game-game 3D, itupun mungkin gara-gara RAM-nya kurang memadai. Untuk Ubuntu 7.10 yang aku gunakan adalah Ubuntu Studio, maklum… penyakit “nyeni” lagi kambuh. Aku memilih Ubuntu Studio karena pada saat itu aku mejadi Instruktur Desain dan Animasi di PalComTech, distro ini sangat lengkap aplikasi mutimedia editor-nya.
Ubuntu 8.04 (HardyHeron), distro yang membuatku makin “anteng” menggunakan Linux. Awalnya yang aku gunakan adalah UbuntuME (Muslim Edition). Pada saat ini karena tuntutan Kuliah, aku harus berkecimpung dalam Web Development dan Netbeans 6.5 sangat membantuku dalam mengembangkan aplikasi web berbasis PHP-Apache-MySQL. Kendala yang aku hadapi dari Ubuntu ini adalah Aplikasi yang tiba-tiba “tertutup” sendiri. Tapi tidak jadi soal, tindakan yang aku lakukan cukup dengan lebih sering men-save pekerjaanku, masih bisa dimaklumi. Game-game 3D (seperti Glest, Warzone 2100, Nexuiz, dll) bisa ku mainkan dengan sangat lancar, apalagi setelah RAM ku di-upgrade ke 1GB. Photoshop CS2 bisa berjalan di Wine, walaupun agak bermasalah di bagian DialogBox-nya. Singkat kata, ini distro andalanku, karena semua fasilitas yang aku butuhkan bisa terpenuhi. Agak menyesal juga setelah aku buru-buru meng-upgrade ke Ubuntu 8.10(InterpydIbex). Laptop Compaq Presario v3000 ku benar-benar tidak bersahabat dengan versi ini. Aplikasi yang sering close tiba-tiba, FlashDisk yang tiba-tiba berubah jadi Read-Only dan harus di-format menggunakan Ms. Windows ke FAT, setting LAN dan WLAN yang manual, komputer yang sering Hang…. singkat kata…. Sangat Tidak Bersahabat. Sampai akhirnya aku downgrade lagi ke Ubuntu 8.04, kemudian sempat mencoba Debian 5.0 Lenny.
Debian 5.0 (Lenny) sangat stabil di Laptopku. Memang benar kalau alasan Debian jarang sekali me-release versi baru adalah “kestabilan”. Hanya saja, karena hardwareku sebagian besar masuk kategori propietary (seperti AGP Intel 965), game-game 3D berjalan sangat lambat dan bisa dikatakan “tidak bisa dimainkan”. Debian sangat ketat dalam mem-bundle paket-paketnya, sehingga paket-paket yang tergolong propietary tidak di-bundle langsung. Heeeeeeeh… (menghela nafas) tapi semua aplikasi kerjaku berjalan mulus, jadi tidak masalah dan bisa dimaklumi 🙂
Ubuntu 9.04 (JauntyJackalope), idola baruku ini lebih stabil dibanding versi terdahulunya. Apalagi untuk koneksi menggunakan modem HP, tinggal colok kabel data dan ikuti petunjuk yang diberikan. Berpindah antar LAN dan WLAN tidak lagi harus me-restart komputer, kalaupun “nyangkut”…. cukup memberikan perintah “sudo /etc/init.d/networking restart”. Semuanya user friendly, beberapa game 3D yang dulu agak tersendat-sendat (di ubuntu 8.04) kini berjalan dengan lancar (memoriku tetap 1GB share). Compiz Fussion tidak berjalan, karena memang AGP Intel memang bermasalah di Ubuntu 9.04, tapi buatku hal ini tidak menjadi masalah besar, karena orientasiku saat ini adalah kecepatan 🙂 maklum, wabah “ngirit” yang dihinggapi para Programmer sudah menjangkiti diriku :p
Sudah aku putuskan, mulai saat ini aku konsentrasi di Linux terutama Ubuntu, distro kesayanganku 🙂